Biografi Tuan Guru Haji Abdurrasyid Amuntai
Biografi
Tuan Guru Haji Abdurrasyid Amuntai (1884-1934) Pendiri Pesantren Rasyidiyah
Khalidiyah
Beliau dilahirkan di Desa Pekapuran Amuntai, dari keluarga
petani sederhana yang beragama dan menjalankan amal ibadah sebagaimana dituntun
oleh agama Islam. Abdurrasyid dipelihara oleh kedua orang tuanya
dengan baik dan penuh kesederhanaan. Sebagai anak tunggal biasanya anak
tersebut menjadi manja’ tetapi tidak dengan Abdurrasyid, berkat
bimbingan kedua orang tuanya ia selalu setia dan patuh pada orang tuanya.
Pengaruh kedua orang tuanya itu membekas dalam
dirinya, sejak kecil Abdurrasyid telah menunjukkan sifat-sifat yang
baik dan terpuji serta menonjol dalam kecerdasan. Dengan penuh ramah dan sopan
ia selalu memimpin kawan-kawan sepergaulannya. Secara diam-diam ia belajar
membaca Al-Qur’an pada seorang Tuan Guru di kampung. Ayahnya terkejut ketika
mengetahui anaknya telah tamat belajar Al-Qur’an dan pada usia 7 tahun ia telah
khatam Al-Qur’an. Hal tersebut sangat membanggakan dan membahagiakan hati kedua
orang tuanya.
Ia tidak dapat menghindari yang sudah menjadi
sunnatullah ketika ayahnya meminta ia untuk kawin. Calon isterinya masih ada
hubungan keluarga, meskipun sudah agak jauh. Pada umur sekitar 20 tahun Abdurrasyid kawin dengan gadis bernama Siti
Fatimah. Siti Fatimah punya saudara satu orang yaitu Abdul Kadir, ayah Siti
Fatimah adalah Abdurrahman Sidik, ibunya Masayu, orang yang berada , terpandang
di masyarakat dan senang menolong orang. Perkawinan itu berjalan lancar, hidup
rukun dan bahagia, pasangan ini dikarunia enam orang anak yaitu Zahrah,
Muhibbah, Ramli, Zuhriah, Asnah dan Ahmad Nabhan. Zahrah dan Ramli meninggal di
waktu kecil.
Ketika kawan-kawan sebayanya bersekolah di Inlansche School Abdurrasyid mengaji (belajar) ilmu-ilmu agama
Islam di desa dan sekitarnya. Di antaranya ia belajar pada Tuan Guru di Desa
Palimbangan yang jarak dengan rumahnya sekitar 5 km. Kemudian atas izin kedua
orang tuanya Abdurrasyid pindah ke daerah lain melanjutkan
menuntut ilmu-ilmu Agama Islamkepada Tuan Guru yang dikenal pada waktu itu.Pada
waktu itu pusat pendidikan Agama Islam adalah rumah-rumah Tuan Guru atau
langgar/mushalla dan umumnya Tuan Guru adalah julukan bagi guru agama yang telah
tua , berpengalaman dan berpengetahuan mendalam di bidang agama Islam dan
sebagian besar telah pernah belajar di Mekkah dan Mesir.
Dalam usaha Abdurrasyid memperdalam ilmunya sebagai gurunya
antara lain : Tuan Guru H. Umar Awang Padang Kelua, Tuan Guru H. Ahmad di
Sungai banar Amuntai, Tuan Guru H.
Jafri bin H. Umar teluk Betung Alabio dan Tuan Guru H. Abdul Rahman Pasungkan
di Negara. Sambil belajar agama pada Tuan Guru tersebut ia juga tekun belajar
sendiri dalam pengetahuan umum.
Hasrat untuk melanjutkan pelajaran ke luar
negeri tidak pernah padam di dalam kalbu Abdurrasyid, untuk
mencapai cita-cita tidak mudah, biaya untuk pergi kesana tidak sedikit dan
keluarga yang ditinggalkan juga menghendaki tanggung jawab pula.Dengan bekal dn
restu kedua orang tuanya, mertua dan isterinya, Abdurrasyid berangkat untuk menuntut ilmu
pengetahuan di Mesir bersama seorang sahabatnya yang bernama H. Mansur dari
Johor. Dan pada penghujung tahun 1912 Abdurrasyid dan H. Mansur merupakan 2 putera
Kalimantan yang pertama yang belajar dalam sejarah Universitas Al Azhar. Ia
belajar di Universitas Al Azhar lebih kurang 10 tahun hingga mencapai Syahadah
Al Alamiyah Lil Ghurraba.
Abdurrasyid selama belajar di Universitas Al Azhar
banyak mengalami kesulitan keuangan, karena tidak mendapat kiriman uang oleh
orang tuanya, maka biaya hidup benar-benar atas usahanya sendiri dan bantuan
tidak tetap dari dana sosial Universitas Al Azhar. Usaha yang dilakukannya
antara lain membantu salah sebuah Restauran di kota Kairo, mendistribusikan
roti kepada pelanggan dan membantu penerbit dengan mentasbih beberapa karangan
yang dicetak di Mesir dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Selama
belajar di Mesir ia menyusun Kitab Perukunan yang dicetak di Mesir yang dapat
membiayai sebagian dari keperluan studi.
Setelah 10 tahun di Kairo Abdurrasyid kembali ke Tanah air dan terlebih
dahulu singgah di Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1922 H. Abdurrasyid tiba di Tanah Air dan sejak itulah
mulai mengabdikan dirinya kepada Bangsa Agama dan Tanah Air.
Abdurrasyid mulai usaha pendidikan dengan membuka
pengajian agama di rumahnya sendiri. Padantanggal 13 Oktober 1922 dimulailah
pengajian agama dengan sistem “HILQAH” dimana para santri duduk bersila
mengelilingi guru yang memberikan pelajaran. Pengajian yang diberikan mendapat
daya tarik yang luar biasa dan rumah sudah tidak bisa lagi menampung sehingga
mendorongnya untuk membuka sebuah Sekolah Islam.
Pada tahun 1924 atas prakarsanya dengan bantuan
berbagai pihak mulai dibangun sebuah langgar bertingkat dua ditepi Sungai
Tabalong dan digunakan untuk shalat berjamaah setiap waktu dan untuk pengajian
umum. Perkembangan pendidikan berjalan lancar maka dari Ibtidaiyah diteruskan
ke Tsanawiyah. Tahun 1926 ia mendirikan sekolah baru di tepi jalan Amuntai-Tanjung, dengan
biaya sebagian dari pribadi H. Abdurrasyid dan bantuan masyrakat. Tahun
1928 Perguruan Islam ini diberi nama “ARABISCHE SCHOOL” , tingkat
pelajaran ditambah lagi dengan tingkat Aliyah.
Abdurrasyid di samping sebagai pelaksana
pembangunan gedung juga sebagai Direktur dan mengajar di sekolah tersebut,
denganmata pelajaran Bahasa Arab. Wibawa, kemampuan dalam bidang ilmu dan
usaha-usahanya sebagai pelopor pendidikan ia dijuluki sebagai ”Muallim Wahid” (Guru
Utama). Setelah lima tahun memimpin “ARABISCHE SCHOOL” Pada tanngal 22 Agustus
1931 secara resmi H. Abdurrasyid menyerahkan pimpinan Pesantren kepada
seorang ulama yang sudah lama mengajar dan dibina olehnya yaitu Tuan Guru H.
Juhri Sulaiman.
Kemudian Tuan Guru H.Abdurrasyid pindah ke Kandangan untuk menerima
amanah masyarakat Kandangan untk memimpin sekolah ALMADRASAH AL WATHANIYAH, di
samping itu ia juga membuka pengajian umum untuk masyarakat dan para ulama.
Pada bulan Agustus 1933 atas inisiatif mantan murid-muridnya ia mendirikan
MADRASAH DINIYAH ISLAMIYAH. Dengan mengutamakan bidang pendidikan dari sinilah
lahir tokoh- tokoh pendidik dan pemuka Islam yang tersebar di Kalimantan Selatan sampai ke Jawa dan Sumatera dan
lainnya.
Sebagaimana daerah-daerah lain, daerah Amuntai pada abad XIX telah menerima
perkembangan Islam dan ajaran Islam diamalkan olehmasyarakat, hanya saja
pengamalannya masih bercampur baur dari tradisi lama yang bersumber dari
sisa-sisa Hinduisme/Budhisme dan faham animisme/dinamisme. Menghadapi masyarakat
yang demikian ia bersikap realistis. Dalam menghadapi berbagai faham yang
bersifat bid’ah khurafat dan mubazir H. Abdurrasyid tidak pernah menolak secara terbuka
ditengah-tengah masyarakat, tetapi dihadapan murid-muridnya secara tegas ia
menolakdengan panjang lebar diuraikan alasan-alasannya. Ia tetap menolak,
tetapi dilakukan dengan pendekatan sosial, melalui cara-cara edukatif
persuasif.
Ia menganggap semua orang adalah saudaranya
sendiri dan sebagian mereka memeluk agama Islam masih berfaham tradisi lama itu
karena kekurangan ilmu dan dangkalnya pemahaman tentang Islam. Keadaan demikian
tidak sepatutnya dimusuhi atau diambil tindakan keras dengan mengisolir mereka.
Mereka harus diayomi, dikawani, diberi pengertian dan ditunjukkan jalan yang
benar harus mereka tempuh.
Dalam mengahadari acara-acara dakwah iaselalu
mengikutsertakan murid-murid kelas tertinggi yang berbakat dan sekali-sekali
disuruh beliau berceramah menggantikan beliau. Dakwah yang dilakukan H. Abdurrasyid memiliki daya tarik luar biasa
dan mengandung ajaran-ajaran yang amat berguna bagi masyarakat.
Bila ia berceramah masyarakat berduyun-duyun mendatanginya “ibarat semut
mengerumuni gula”.
Ia aktif memelopori dan menghadiri acara-acara
peringatan Hari-hari Besar Islam, seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Maulid
Nabi dan sebagainya. Ia selalu berusaha meningkatkan syiar Islam di dalam
masyarakat.
Abdurrasyid sangat cenderung kepada persatuan umat
termasuk di dalamnya persatuan ulama mewarnai berbagai aspek kegiatannya. Dalam
bidang Dakwah Islamiyah, ia berusaha memperluas cakrawala berpikir dengan
meningkatkan peran akal, bersifat terbuka dan toleransi serta menjaga persatuan
umat. Setapak demi setapak masyarakat dibimbingnya ke ajaran Islam yang murni
dan berusaha meninggalkan khurafat dan jumud yang berkembang di masyarakat
dengan meningkatkan cakrawala berpikir umat melalui pendidikan dan dakwah.
Tuan Guru Haji Abdurrasyid mempunyai kepribadian yang dapat kita
jadikan contoh dan teladan bagi kehidupan kita. Ia sejak mudanya memiliki
kemauan yang keras, tekad membaja serta ulet berusahandan tangguh dengan
cita-cita menambah ilmu pengetahuan dengan rela berkorban berpisah
sementara dengan kedua orang tuanya dan anak isterinya. Sifat sederhana mewarnai
kehidupannya setiap hari, gambarankesederhanaan itu tampak jelas dalam ia
berumah tangga. Ia tidak memiliki rumah yang dibangun sendiri.
Dengan kesederhanaan itu ia mampu membina sifat
jujur. Dari membangun langgar, gedung-gedung sekolah dan asrama santri
ditangani sendiri. kejujurannya ia mendapat kepercayaan masyarakat hingga
bantuan masyarakat untuk keperluan pendidikan selalu mengalir. Ia juga punya
sifat tidak suka menonjolkan diri. Di dalam pertemuan ulama-ulama, di samping
berbicara seperlunya ia juga tidak mengeluarkan pendapat kecuali diminta. Rasa
tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga, masyarakat dan agama menyatu
dalam dirinya dalam bentuk pengabdian.
Sifat kasih sayang dan tangannya selalu terbuka untuk orang lain,
orang yang datang ke rumahnya baik kerabat atau orang lain diusahakan ikut
makan bersama, ia punya kesenangan menjamu orang lain. Tuan Guru H. Abdurrasyid selalu berpandangan luas, selalu
terbuka tetapi juga memiliki pendirian yang teguh.
Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah terletak di desa Pekapuran, kecamatan Amuntai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Pesantren yang didirikan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1341 H. atau 13 Oktober
1922 M. oleh Hadratus Syeh Abdur Rasyid ini pada tahun 1985 memiliki empat
hektar tanah kompleks dan 100 hektar tanah pertanian. Kompleks terdiri atas:
Asrama Santri (63 buah), Ruangan/Lokal Belajar (51 buah), Ruang Kantor (6
buah), Mushallah (1 buah), Perpustakaan (1 buah), Aula Santri (1 buah),
Ruang Tata Usaha (1 buah), Balai Pengobatan (1 buah), Balai Pertemuan (1
buah), Koperasi (1 buah), Workshop (1 buah), Gudang Peralatan (1 buah),
WC (1buah) dan Lapangan Olah Raga (2 buah) (Pusat Informasi Pesantren, 1992: 55).
Sejak berdirinya, pesantren ini hanya
membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk mengubah diri dari pesantren
yang menggunakan sistem sorogan dankhalaqah ke sistem klasikal yang dilengkapi
dengan meja, kursi, dan papan tulis. Perubahan sistem pengajaran dari khalaqah dan bandongan/sorogan ke
sistem klasikal didorong oleh dua hal: (1) berkaitan dengan perubahan dalam
Islam di Indonesia yang terjadi pada permulaan awal abad ke-20 dan (2)
berkaitan dengan pendirinya, K.H. Abdurrasyid yang selain mempunyai pengetahuan
agama yang tinggi dan berasal dari universitas modern Al-Azhar di Cairo, juga
memiliki kemampuan manajemen dan organisasi yang baik.
Perubahan dalam Islam oleh Stenbrink disebut
sebagai kebangkitan, pembaharuan, bahkan pencerahan (renaissance). Perubahan tersebut juga menyentuh aspek
pendidikan di mana cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode
tradisional dalam mempelajari Alquran dan studi-studi agama. Pribadi-pribadi
dan organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 ini berusaha memperbaiki
pendidikan Islam, baik dari segi metode maupun isinya. Mereka juga mengusahakan
kemungkinan memberikan pendidikan umum untuk orang Islam. Lembaga pendidikan
Islam yang sebelumnya sudah ada dimodernisasi; sistem pendidikan pesantren dan
langgar (mushallah) yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi dengan mengadopsi
aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kurikulum,
teknik, metode pengajaran dan sebagainya (Stenbrink, 1986: 28; Azra, 1998: 91).
Di Kalimantan Selatan,
lembaga pendidikan Islam sebenarnya sudah ada sejak waktu lama yang diajarkan
lewat langgar-langgar. Pelajaran yang diberikan oleh para guru dalam pengajian
tersebut meliputi Ilmu Fiqh, Tauhid, dan Ilmu Tasawuf yang ringan, serta
pelajaran Alquran yang dimulai dengan Dammun, Nahu, Syaraf,
dan Tajwid. Selain itu, terdapat
juga sistem pengajian yang disebut me
arba. (Nawawi, dkk., 1980/1981: 15).
Menjelang akhir tahun 1933 kesehatan Tuan Guru
H. Abdurrasyid mulai menurun, rupanya tugas-tugas
yang berat dihadapinya melebihi dari kemampuan fisiknya sendiri. Pada bulan
Januari 1934 beliau kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit. Selama sakit
beliau dirawat oleh dokter Rumah Sakit Amuntai, dengan perawatan
di rumah. Di saat sakitnya sudah dirasakan berat, iamasih sempat berpesan
kepada orang-orang yangberada disekelilingnya, agar murid-muridnya berusaha
memelihara dan mengembangkan perguruan-perguruan yang telah dirintisnya.
Pada hari Ahad tanggal 4 Pebruari 1934
bertepatan dengan 19 Syawal 1353 H jam 16.00 dihadapan isteri dan anak-anaknya
serta keluarga dan beberapa orang muridnya, ia menghembuskan nafas yang
terakhir berpulang ke rahmatullah. Pemakaman jenazah almarhum dilakukan dengan
upacara keagamaan di bawah pimpinan tuan Guru H.M. Arsyad Khatib dari Amuntai. Beliau dimakamkan
di samping halaman rumahnya di Desa Pekapuran Amuntai pada sore hari Senin tanggal 5
Pebruari 1934 M bertepatan dengan 20 Syawal 1353 H.
Sumber:https://suarapesantren.net/2018/01/26/tuan-guru-haji-abdurrasyid-amuntai-1884-1934-pendiri-pesantren-rasyidiyah-khalidiyah/
Sumber:https://suarapesantren.net/2018/01/26/tuan-guru-haji-abdurrasyid-amuntai-1884-1934-pendiri-pesantren-rasyidiyah-khalidiyah/
0 komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.