Biografi Tuan Guru Haji Abdurrasyid Amuntai

April 25, 2018 Unknown 0 Comments

Biografi Tuan Guru Haji Abdurrasyid Amuntai (1884-1934) Pendiri Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah

Beliau dilahirkan di Desa Pekapuran Amuntai, dari keluarga petani sederhana yang beragama dan menjalankan amal ibadah sebagaimana dituntun oleh agama Islam. Abdurrasyid dipelihara oleh kedua orang tuanya dengan baik dan penuh kesederhanaan. Sebagai anak tunggal biasanya anak tersebut menjadi manja’ tetapi tidak dengan Abdurrasyid, berkat bimbingan kedua orang tuanya ia selalu setia dan patuh pada orang tuanya.
Pengaruh kedua orang tuanya itu membekas dalam dirinya, sejak kecil Abdurrasyid telah menunjukkan sifat-sifat yang baik dan terpuji serta menonjol dalam kecerdasan. Dengan penuh ramah dan sopan ia selalu memimpin kawan-kawan sepergaulannya. Secara diam-diam ia belajar membaca Al-Qur’an pada seorang Tuan Guru di kampung. Ayahnya terkejut ketika mengetahui anaknya telah tamat belajar Al-Qur’an dan pada usia 7 tahun ia telah khatam Al-Qur’an. Hal tersebut sangat membanggakan dan membahagiakan hati kedua orang tuanya.
Ia tidak dapat menghindari yang sudah menjadi sunnatullah ketika ayahnya meminta ia untuk kawin. Calon isterinya masih ada hubungan keluarga, meskipun sudah agak jauh. Pada umur sekitar 20 tahun Abdurrasyid kawin dengan gadis bernama Siti Fatimah. Siti Fatimah punya saudara satu orang yaitu Abdul Kadir, ayah Siti Fatimah adalah Abdurrahman Sidik, ibunya Masayu, orang yang berada , terpandang di masyarakat dan senang menolong orang. Perkawinan itu berjalan lancar, hidup rukun dan bahagia, pasangan ini dikarunia enam orang anak yaitu Zahrah, Muhibbah, Ramli, Zuhriah, Asnah dan Ahmad Nabhan. Zahrah dan Ramli meninggal di waktu kecil.
Ketika kawan-kawan sebayanya bersekolah di Inlansche School Abdurrasyid mengaji (belajar) ilmu-ilmu agama Islam di desa dan sekitarnya. Di antaranya ia belajar pada Tuan Guru di Desa Palimbangan yang jarak dengan rumahnya sekitar 5 km. Kemudian atas izin kedua orang tuanya Abdurrasyid pindah ke daerah lain melanjutkan menuntut ilmu-ilmu Agama Islamkepada Tuan Guru yang dikenal pada waktu itu.Pada waktu itu pusat pendidikan Agama Islam adalah rumah-rumah Tuan Guru atau langgar/mushalla dan umumnya Tuan Guru adalah julukan bagi guru agama yang telah tua , berpengalaman dan berpengetahuan mendalam di bidang agama Islam dan sebagian besar telah pernah belajar di Mekkah dan Mesir.
Dalam usaha Abdurrasyid memperdalam ilmunya sebagai gurunya antara lain : Tuan Guru H. Umar Awang Padang Kelua, Tuan Guru H. Ahmad di Sungai banar Amuntai, Tuan Guru H. Jafri bin H. Umar teluk Betung Alabio dan Tuan Guru H. Abdul Rahman Pasungkan di Negara. Sambil belajar agama pada Tuan Guru tersebut ia juga tekun belajar sendiri dalam pengetahuan umum.
Hasrat untuk melanjutkan pelajaran ke luar negeri tidak pernah padam di dalam kalbu Abdurrasyid, untuk mencapai cita-cita tidak mudah, biaya untuk pergi kesana tidak sedikit dan keluarga yang ditinggalkan juga menghendaki tanggung jawab pula.Dengan bekal dn restu kedua orang tuanya, mertua dan isterinya, Abdurrasyid berangkat untuk menuntut ilmu pengetahuan di Mesir bersama seorang sahabatnya yang bernama H. Mansur dari Johor. Dan pada penghujung tahun 1912 Abdurrasyid dan H. Mansur merupakan 2 putera Kalimantan yang pertama yang belajar dalam sejarah Universitas Al Azhar. Ia belajar di Universitas Al Azhar lebih kurang 10 tahun hingga mencapai Syahadah Al Alamiyah Lil Ghurraba.
Abdurrasyid selama belajar di Universitas Al Azhar banyak mengalami kesulitan keuangan, karena tidak mendapat kiriman uang oleh orang tuanya, maka biaya hidup benar-benar atas usahanya sendiri dan bantuan tidak tetap dari dana sosial Universitas Al Azhar. Usaha yang dilakukannya antara lain membantu salah sebuah Restauran di kota Kairo, mendistribusikan roti kepada pelanggan dan membantu penerbit dengan mentasbih beberapa karangan yang dicetak di Mesir dengan menggunakan bahasa Arab Melayu. Selama  belajar di Mesir ia menyusun Kitab Perukunan yang dicetak di Mesir yang dapat membiayai sebagian dari keperluan studi.
Setelah 10 tahun di Kairo Abdurrasyid kembali ke Tanah air dan terlebih dahulu singgah di Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1922 H. Abdurrasyid tiba di Tanah Air dan sejak itulah mulai mengabdikan dirinya kepada Bangsa Agama dan Tanah Air.
Abdurrasyid mulai usaha pendidikan dengan membuka pengajian agama di rumahnya sendiri. Padantanggal 13 Oktober 1922 dimulailah pengajian agama dengan sistem “HILQAH” dimana para santri duduk bersila mengelilingi guru yang memberikan pelajaran. Pengajian yang diberikan mendapat daya tarik yang luar biasa dan rumah sudah tidak bisa lagi menampung sehingga mendorongnya untuk membuka sebuah Sekolah Islam.
Pada tahun 1924 atas prakarsanya dengan bantuan berbagai pihak mulai dibangun sebuah langgar bertingkat dua ditepi Sungai Tabalong dan digunakan untuk shalat berjamaah setiap waktu dan untuk pengajian umum. Perkembangan pendidikan berjalan lancar maka dari Ibtidaiyah diteruskan ke Tsanawiyah. Tahun 1926 ia mendirikan sekolah baru di tepi jalan Amuntai-Tanjung, dengan biaya sebagian dari pribadi H. Abdurrasyid dan bantuan masyrakat. Tahun 1928  Perguruan Islam ini diberi nama “ARABISCHE SCHOOL” , tingkat pelajaran ditambah lagi dengan tingkat Aliyah.
Abdurrasyid di samping sebagai pelaksana pembangunan gedung juga sebagai Direktur dan mengajar di sekolah tersebut, denganmata pelajaran Bahasa Arab. Wibawa, kemampuan dalam bidang ilmu dan usaha-usahanya sebagai pelopor pendidikan ia dijuluki sebagai ”Muallim Wahid” (Guru Utama). Setelah lima tahun memimpin “ARABISCHE SCHOOL” Pada tanngal 22 Agustus 1931 secara resmi H. Abdurrasyid menyerahkan pimpinan Pesantren kepada seorang ulama yang sudah lama mengajar dan dibina olehnya yaitu Tuan Guru H. Juhri Sulaiman.
Kemudian Tuan Guru H.Abdurrasyid pindah ke Kandangan untuk menerima amanah masyarakat Kandangan untk memimpin sekolah ALMADRASAH AL WATHANIYAH, di samping itu ia juga membuka pengajian umum untuk masyarakat dan para ulama. Pada bulan Agustus 1933 atas inisiatif mantan murid-muridnya ia mendirikan MADRASAH DINIYAH ISLAMIYAH. Dengan mengutamakan bidang pendidikan dari sinilah lahir tokoh- tokoh pendidik dan pemuka Islam yang tersebar di Kalimantan Selatan sampai ke Jawa dan Sumatera dan lainnya.
Sebagaimana daerah-daerah lain, daerah Amuntai pada abad XIX telah menerima perkembangan Islam dan ajaran Islam diamalkan olehmasyarakat, hanya saja pengamalannya masih bercampur baur dari tradisi lama yang bersumber dari sisa-sisa Hinduisme/Budhisme dan faham animisme/dinamisme. Menghadapi masyarakat yang demikian ia bersikap realistis. Dalam menghadapi berbagai faham yang bersifat bid’ah khurafat dan mubazir H. Abdurrasyid tidak pernah menolak secara terbuka ditengah-tengah masyarakat, tetapi dihadapan murid-muridnya secara tegas ia menolakdengan panjang lebar diuraikan alasan-alasannya. Ia tetap menolak, tetapi dilakukan dengan pendekatan sosial, melalui cara-cara edukatif persuasif.
Ia menganggap semua orang adalah saudaranya sendiri dan sebagian mereka memeluk agama Islam masih berfaham tradisi lama itu karena kekurangan ilmu dan dangkalnya pemahaman tentang Islam. Keadaan demikian tidak sepatutnya dimusuhi atau diambil tindakan keras dengan mengisolir mereka. Mereka harus diayomi, dikawani, diberi pengertian dan ditunjukkan jalan yang benar harus mereka tempuh.
Dalam mengahadari acara-acara dakwah iaselalu mengikutsertakan murid-murid kelas tertinggi yang berbakat dan sekali-sekali disuruh beliau berceramah menggantikan beliau. Dakwah yang dilakukan H. Abdurrasyid memiliki daya tarik luar biasa dan   mengandung ajaran-ajaran yang amat berguna bagi masyarakat. Bila ia berceramah masyarakat berduyun-duyun mendatanginya “ibarat semut mengerumuni gula”.
Ia aktif memelopori dan menghadiri acara-acara peringatan Hari-hari Besar Islam, seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Maulid Nabi dan sebagainya. Ia selalu berusaha meningkatkan syiar Islam di dalam masyarakat.
Abdurrasyid sangat cenderung kepada persatuan umat termasuk di dalamnya persatuan ulama mewarnai berbagai aspek kegiatannya. Dalam bidang Dakwah Islamiyah, ia berusaha memperluas cakrawala berpikir dengan meningkatkan peran akal, bersifat terbuka dan toleransi serta menjaga persatuan umat. Setapak demi setapak masyarakat dibimbingnya ke ajaran Islam yang murni dan berusaha meninggalkan khurafat dan jumud yang berkembang di masyarakat dengan meningkatkan cakrawala berpikir umat melalui pendidikan dan dakwah.
Tuan Guru Haji Abdurrasyid mempunyai kepribadian yang dapat kita jadikan contoh dan teladan bagi kehidupan kita. Ia sejak mudanya memiliki kemauan yang keras, tekad membaja serta ulet berusahandan tangguh dengan cita-cita  menambah ilmu pengetahuan dengan rela berkorban berpisah sementara dengan kedua orang tuanya dan anak isterinya. Sifat sederhana mewarnai kehidupannya setiap hari, gambarankesederhanaan itu tampak jelas dalam ia berumah tangga. Ia tidak memiliki rumah yang dibangun sendiri.
Dengan kesederhanaan itu ia mampu membina sifat jujur. Dari membangun langgar, gedung-gedung sekolah dan asrama santri ditangani sendiri.  kejujurannya ia mendapat kepercayaan masyarakat hingga bantuan masyarakat untuk keperluan pendidikan selalu mengalir. Ia juga punya sifat tidak suka menonjolkan diri. Di dalam pertemuan ulama-ulama, di samping berbicara seperlunya ia juga tidak mengeluarkan pendapat kecuali diminta. Rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga, masyarakat dan agama menyatu dalam dirinya dalam bentuk pengabdian.
 Sifat kasih sayang dan tangannya selalu terbuka untuk orang lain, orang yang datang ke rumahnya baik kerabat atau orang lain diusahakan ikut makan bersama, ia punya kesenangan menjamu orang lain. Tuan Guru H. Abdurrasyid selalu berpandangan luas, selalu terbuka tetapi juga memiliki pendirian yang teguh.
Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah terletak di desa Pekapuran, kecamatan Amuntai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Pesantren yang didirikan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1341 H. atau 13 Oktober 1922 M. oleh Hadratus Syeh Abdur Rasyid ini pada tahun 1985 memiliki empat hektar tanah kompleks dan 100 hektar tanah pertanian. Kompleks terdiri atas: Asrama Santri (63 buah), Ruangan/Lokal Belajar (51 buah), Ruang Kantor (6 buah), Mushallah (1 buah), Perpustakaan (1 buah),  Aula Santri (1 buah), Ruang Tata Usaha (1 buah), Balai Pengobatan (1 buah), Balai Pertemuan  (1 buah), Koperasi (1 buah), Workshop (1 buah),  Gudang Peralatan (1 buah), WC (1buah) dan Lapangan Olah Raga (2 buah) (Pusat Informasi Pesantren, 1992: 55).
Sejak berdirinya, pesantren ini hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat  untuk mengubah diri dari pesantren yang menggunakan sistem sorogan dankhalaqah ke sistem klasikal yang dilengkapi dengan meja, kursi, dan papan tulis. Perubahan sistem pengajaran dari khalaqah dan bandongan/sorogan ke sistem klasikal didorong oleh dua hal: (1) berkaitan dengan perubahan dalam Islam di Indonesia yang terjadi pada permulaan awal abad ke-20 dan (2) berkaitan dengan pendirinya, K.H. Abdurrasyid yang selain mempunyai pengetahuan agama yang tinggi dan berasal dari universitas modern Al-Azhar di Cairo, juga memiliki kemampuan manajemen dan organisasi yang baik.
Perubahan dalam Islam oleh Stenbrink disebut sebagai kebangkitan, pembaharuan, bahkan pencerahan (renaissance). Perubahan tersebut juga menyentuh aspek pendidikan di mana cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Alquran dan studi-studi agama. Pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 ini berusaha memperbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode maupun isinya. Mereka juga mengusahakan kemungkinan memberikan pendidikan umum untuk orang Islam. Lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya sudah ada dimodernisasi; sistem pendidikan pesantren dan langgar (mushallah)  yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi  dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, khususnya dalam kurikulum, teknik, metode pengajaran dan sebagainya (Stenbrink, 1986: 28; Azra, 1998: 91).
Di Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam sebenarnya sudah ada sejak waktu lama yang diajarkan lewat langgar-langgar. Pelajaran yang diberikan oleh para guru dalam pengajian tersebut meliputi Ilmu Fiqh, Tauhid, dan Ilmu Tasawuf yang ringan, serta pelajaran Alquran yang dimulai dengan DammunNahuSyaraf, dan Tajwid.  Selain itu, terdapat juga sistem pengajian yang disebut me arba. (Nawawi, dkk., 1980/1981: 15).
Menjelang akhir tahun 1933 kesehatan Tuan Guru H. Abdurrasyid mulai menurun, rupanya tugas-tugas yang berat dihadapinya melebihi dari kemampuan fisiknya sendiri. Pada bulan Januari 1934 beliau kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit. Selama sakit beliau dirawat oleh dokter Rumah Sakit Amuntai, dengan perawatan di rumah. Di saat sakitnya sudah dirasakan berat, iamasih sempat berpesan kepada orang-orang yangberada disekelilingnya, agar murid-muridnya berusaha memelihara dan mengembangkan perguruan-perguruan yang telah dirintisnya.
Pada hari Ahad tanggal 4 Pebruari 1934 bertepatan dengan 19 Syawal 1353 H jam 16.00 dihadapan isteri dan anak-anaknya serta keluarga dan beberapa orang muridnya, ia menghembuskan nafas yang terakhir berpulang ke rahmatullah. Pemakaman jenazah almarhum dilakukan dengan upacara keagamaan di bawah pimpinan tuan Guru H.M. Arsyad Khatib dari Amuntai. Beliau dimakamkan di samping halaman rumahnya di Desa Pekapuran Amuntai pada sore hari Senin tanggal 5 Pebruari 1934 M bertepatan dengan 20 Syawal 1353 H.


Sumber:https://suarapesantren.net/2018/01/26/tuan-guru-haji-abdurrasyid-amuntai-1884-1934-pendiri-pesantren-rasyidiyah-khalidiyah/

0 komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.