Budaya dan Tradisi Lisan Orang Banjar
BUDAYA
DAN TRADISI LISAN ORANG BANJAR
Suku bangsa Banjar ialah penduduk asli yang
mendiami sebagian besar wilayah provinsi Kalimantan Selatan. Mayoritas masyarakatnya menganut agama
Islam. Pengakuan bahwa religi sebagai suatu sistem, telah dikondisikan pada
makna religi yang terdiri dari bagian-bagian yang behubungan satu sama lain
dimana masing-masing bagiannya merupakan satu sistem yang tersendiri.
Adapun tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat
dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari
menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya
adalah Madihin dan Lamut.
Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ)
yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang
dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk
mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam
khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah
sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka
bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Orang banjar memiliki budaya dan tradisi lisan
tersendiri yang sudah dimiliki sejak dahulu, seperti madihin, pasar terapung,
baayan maulid, palui, kerajinan, adat perkawinan, kepercayaan kehamilan, dan
lain sebagainya. Beberapa indikasi menunjukkan, sejumlah aspek kebudayaan
Banjar sedang mengalami krisis. Budaya banjar saat ini sedang di tengah
pengaruh globalisasi. Mengingat sifatnya yang dinamis, kebudayaan tak dapat
”dilestarikan” dalam pengertian seperti apa adanya pada suatu masa. Pakaian
yang kita kenakan sekarang berbeda dengan pakaian yang dikenakan urang
bahari misalnya. Contoh lain lagi misalkan dalam penggunaan bahasa banjar
sehari-hari, bahasa Banjar terancam punah, karena tidak ada upaya sistematis
dan terencana yang dilakukan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pewarisan
dan pembinaannya. Dalam era teknologi telekomunikasi dan informasi kini, berapa
persen anak banua yang masih menguasai/menggunakan “bahasa
Banjar yang baik dan benar” dalam berkomunikasi? Lihatlah “bahasa gaul” remaja
Banjar di sekolah, kampus dan di radio-radio swasta (terutama di Kota
Banjarmasin dan Kota Banjarbaru), yang tidak berbeda dengan bahasa yang
digunakan remaja di kota-kota besar di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera.
Jika kita ingat kembali kapan terakhir kali kita menyaksikan langsung (di
lingkungan tempat tinggal kita) baturai pantun, madihin, basyair, badundam (bukan
dari televisi)? Dalam setahun, berapa kali kita menyaksikan sastra tradisi
Banjar, dibandingkan dengan menonton film di bioskop/televisi/VCD/DVD, acara
karaoke, pertunjukan musik dangdut atau pop? Kalau urang Banjar
benar-benar bangga dengan kebudayaan daerahnya, apakah semua sekolah di
kabupaten/kota mengisi kurikulum muatan lokal (mulok) dengan bahasa, sastra dan
kesenian daerah? Di Kota Banjarmasin, ada SMA favorit yang mengisi mata
pelajaran mulok dengan Bahasa Inggris. Padahal, Bahasa Inggris sudah menjadi
mata pelajaran tetap di sekolah dan kita sudah akrab dengan kosa katanya
(misalnya, handphone, internet, chatting). Sementara itu, siapa yang
tahu arti tangkujuh? Kalau masyarakat kita benar-benar bangga
dengan kebudayaan daerahnya, sastra dan budaya Banjar-lah yang seyogianya
dijadikan pilihan. Misalkan lagi seperti permainan-permainan yang sering
dimainkan oleh anak-anak Banjar bahari, apakah anak-anak sekarang masih tetap
memainkan permainan-permainan itu sekarang? Anak-anak sekarang hanya banyak
bermain dengan gadget mereka dan menonton TV di rumah, sudah jarang ditemukan
sekarang anak-anak yang masih melakukan permainan-pemainan anak-anak suku
Banjar dahulu.
Masyarakat Banjar
adalah etnis mayoritas di Kalimantan. Bukan hanya di Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, tapi urang Banjar
juga ada di Malaysia, Riau dan Kepulauan Riau, selain di bagian lain Nusantara.
Seni tradisinya pun beragam: sastra, teater, tari, musik dan seni rupa.
Dalam bidang sastra ada
pantun, basyair, madihin, baandi-andi, termasuk bamamang (mantra)
Dalam bidang tater
misalkan ada mamanda, wayang kulit, wayang gung,
japin carita, lamut (monolog/teatertutur), tantayungan, babagungan, damarulan, bakisah, bapandung dan
lain-lain.
Dalam bidang tari ada baksa
kambang, baksa panah, radap rahayu, rudat, manuping (tari
topeng), japin, lalan, sisit, tandik (tandik
balian) dan lain-lain.
Dalam bidang tari ada ahui, kurung-kurung, kuriding, kintung, bumbung,
lagu daerah Banjar dan lain-lain.
Dalam bidang seni rupa
seperti ukir-ukiran, kaligrafi, sasirangan.
Dampak yang paling mengkhawatirkan dari arus
globalisasi adalah terhadap agama dan tatanan nilai lainnya dalam masyarakat
Banjar. Kehidupan agama pada zaman ini mau tidak mau memang akan terus
ditantang. Dunia di luar dia adalah dunia persaingan. Karena itu, orang mencari
perlindungan pada agama dan kedamaian pada agama.
Dalam era global, di mana melalui teknologi
telekomunikasi dan informasi unsur-unsur budaya asing dengan leluasa memasuki
ruang publik (hingga ke kamar tidur kita), di masa mendatang, kalau tak ada
upaya konkrit yang dilakukan, mungkin kebudayaan Banjar akan tinggal kenangan.
0 komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.